Cerita pendek (cerpen)
Kenangan Akan lantera Kehidupan
Minggu 26 Desember 2004, menjadi saksi
bisu akhir kebersamaanku bersama orang yang kucintai tepatnya jam 10 pagi. “happy
b.day sayang...”ucap mama dan bapak, Aku bahagia ultahku yang ke 6 tidak
terlewatkan, tiba......tiba....rumahku bergoyang.
“Mama
kenapa rumah kita bergoyang”tanyaku degan ketakutan.
“Sayang, itu namanya...?” suara mamaku pun
terputus ketika mendengar teriakan orang yang lari ketika air laut sudah naik
kedarat. Kami sekeluargapun bergegas meninggalkan rumah, kue tart, balon, kado
dan lilin yang sebentar lagi akan kutiup harus kutinggalkan tanpa tau apa yang
terjadi dan yang aku bisa lakukan hanya berlari dikerumunan orang banyak.
”Mama....Bapak...” teriakku sambil
menangis ketika mareka hilang dari pandanganku. Akupun terjatuh dan terhimpit
oleh ribuan orang yang tak aku kenali. Tiba-tiba seorang kakek datang menghampiriku,
”Nak...kenapa masih disini, air laut sudah dekat kita, lari nak, bawa hadiah ini
bersamamu, jangan lepaskan ia walau sebentar dari tanganmu”, pinta seorang kakek
tua berbaju putih.
Tak lama kemudian aku mendengar suara air
yang siap menerjangku dan akupun terhantam bersamanya. ”Mama, Bapak..”teriakku
ketika sadar sambil melihat disekelilingku. “disini banyak darah dan orang-orang
tertidur semua, semuanya telah rata dengan tanah”ujarku kembali dengan lemah
sambil memeluk hadian sang kakek dengan pandangan penuh tanda tanya. “Tuhan,
apa yang sudah terjadi, Kenapa aku bisa disini, dimana mama dan bapakku?”ucapku dalam hati yang sekali-kali hanya bisa memanggil mama bapak.
“kamu masih hidup nak?” tanya seorang Petugas Keamanan ketika melihatku yang terbaring diantara mayat yang berjatuhan. Aku
hanya menganggukan kepalaku, karena rasa kepedulian, akhirnya aku dibawa ke posko
yang didalamnya terdapat puluhan orang yang senasib denganku.
***
Hari berlalu dengan cepat, hampir
sebulan aku merasakan suasana tinggal di posko bersama orang yang tak aku
kenali, aku hanya bisa menangis ketika melihat mareka berkasih sayang dengan buah
hatinya, ketika melihat mareka hari demi hari dijemput oleh keluarga tercinta
dan kini hanya tinggal aku bersama anak-anak seusiaku yang senasib, tak tau
arah kemana yang harus kami terlusuri. Sampai pada suatu hari kami dititipkan
pada sebuah panti asuhan. “ ya Rabby, akhirnya tempat yang tak pernah ingin aku
rasakan kini menjadi kenyataan, aku akan hidup bersama mareka, bersama anak-anak yang
tidak memiliki orang tua, dimanakah mereka ya Rabby, lindungilah mareka walau
kini aku harus berpisah dengannya” lirihku dalam isak tangis ketika
melihat mereka bermain riang. Usai setahun sudah aku tinggal bersama ibu panti
yang baik hati, kasih sayangnya tidak pernah padam walau kami bukan
anak-anaknya, tapi bagi ibu panti yang kerap disapa ibu Nur, kami adalah
cahayanya, senyumannya, dan kehidupannya. Begitu mulia hati beliau yang siap
menerima kami tanpa memandang bulu dan
siap memeluk kami dengan penuh kehangatan.
“Nak, kenapa kamu bersedih, apa kamu tidak
betah tinggal disini”tanyak Ibu Nur yang kini aku anggap ibu sendiri. “bu, aku
rindu mama bapak, aku tak tau bagaimana keadaan mareka, dimanakah mareka
sekarang, apa mareka baik saja”jawabku dalam keadaan menangis sambil memeluk ibu
Nur.
***
2
tahun sudah kenangan pahit berlalu, kebahagiaan bersama orang tercinta kini hanya
tinggal kenangan yang selalu tak terobati, walau kini air mata kesedihan
berganti dengan kebahagian bersama anak-anak panti yang terus tersenyum seolah
kesedihan atas kehilangan sang bunda dan ayahda tidak pernah mareka rasakan.
Kekuatan dan senyuman marekalah para malaikat kecil yang terus menjadi
inspirasiku untuk bangkit sampai akhirnya aku menduduki bangku sekolah dasar “Sudah
hampir setahun aku sekolah di Sukma Bangsa Pidie. Sekolah yang dibangun karena Tsunami. Disini aku kembali mengingat kejadian yang menyedihkan itu, ketika
kalian pergi entah kemana, diriku menjadi begitu takut dan kesepian, lantera
pun hilang tanpa secercah cahaya yang
melekat. Namun, ketika aku bertemu dengan ibu Nur, akhirnya lantera kembali
menerangiku walau cahaya itu tak sehangat kasihmu mama bapak. terimakasih ku
ucapkan atas ketulusan hatimu...:) dan terima kasih Sukma Bangsa kau hadir
ditengah-tengah hidup kami dan membangkitkan semangat anak – anak Tsunami,
anak-anak yang hilang arah dan tujuan yang hanya bisa bermimpi untuk menduduki
bangku pendidikan, namun mimpi itu kini
menjadi nyata dengan hadirnya sekolah Sukma Bangsa. Terimakasih untuk semua
para guru yang telah sudi memberi kasih sayang kepada kami sepenuh hati dan
mengajarkan kami arti nilai sebuah kenangan”ujarku ketika memperingati hari Tstunami
tahun 2008.
***
Hari
berlalu dengan lembut tanpaku sadari satu persatu saudara pantiku pergi
meninggalkan panti bersama keluarga barunya dengan kebahagiaan yang terlintas
diraut wajahnya, sampai pada akhirnya seorang wanita muda yang kini menjadi
mama angkatku pun menjemput, membawaku pergi dari saudara-saudaraku. Dengan
hati yang berat akupun mengikutinya meninggalkan lantera yang tersenyum sedih mengisyaratkan kalau ia tak mau berpisah denganku. Ku lalui semua
perjalanan hidup ini yang datang dan pergi begitu saja tanpa memberi kesempatan
untuk bertanya adakah hari esok untuk kita bersama?. Adakah lantera itu kembali
bersinar?. Sampai pada suatu masa aku mendapatkan kabar kalau ibu Nur telah
pergi untuk selamanya. Akupun terjatuh pingsan ketika melihat lanteraku kembali
hilang dengan balutan kain kafan putih
ditaburi kapas serta minyak wangi yang tak sedap aromanya. Perlahan demi perlahan aku membuka mata sampai sosok yang penuh balutan putih
kudapati, kucium dengan lembut, kudekati telinganya sambil berujar “
selamat jalan duhai lantera, selamat bertemu kembali di hari esok yang tak tau
kapan berujung”. 26 Desember 2013 bertepatan dengan hari Tsunami ibu Nur dikuburkan
di Banda Aceh. Sosok wanita yang memiliki hati selembut ibu dan setangguh ayah
kini menjadi kenangan yang selalu diingat dalam hati para anak-anak panti, tanggal yang selalu menores luka di hati dengan
kepergian lantera bernilai seperti mama, bapak dan ibu Nur. Selamat jalan buat kalian buat lantera yang
selalu hangat dalam jiwa walau raga kian tak bersama lagi, kini aku bertekat
tidak pernah ada kata pudar lantera kehidupan, separah apapun rasa
kehilangan cahaya itu akan tetap ada walau dalam imajinasi.
Comments
Post a Comment